Jumat, 13 Februari 2015

Wae Rebo, Negeri Diatas Awan



Nama tempat ini mungkin masih terdengar asing bagi sebagian masyarakat Indonesia, jangankan masyarakat Indonesia, masyarakat yang berada dalam satu wilayah pun terkadang masih menjawab tidak tahu ketika ditanya tentang Wae Rebo. Wae Rebo merupakan sebuah desa terpencil yang berada di wilayah Flores, Nusa tenggara Timur, tepatnya di kecamatan Satarmese Barat Kabupaten Manggarai.
Wae rebo merupakan desa yang sangat unik, karena terletak di antara pegunungan, dan berada diketinggian 1200 meter diatas permukaan laut. Tak mengherankan jika beberapa warga asli Wae Rebo yang menjemput kami  memakai pakaian tebal atau berselempang sarung, karna wilayah tersebut terkenal dengan suhu yang cukup dingin.
Nama Wae rebo sebenarnya cukup kondang untuk para wisatawan, namun yang membuat telinga kita miris, ternyata 80 persen wisatawan yang datang mengunjungi Wae Rebo merupakan wisatawan asing. Para wisatawan asing ini begitu semangat untuk menyaksikan keunikan apa saja yang ada disana,  mulai dari rumah adat kuno, sampai peradaban budaya asli Manggarai yang terus lestari hingga saat ini.

Kita membutuhkan tenaga ekstra untuk bisa mencapai Wae Rebo, wajar saja karena memang letaknya yang jauh diatas gunung.  Untuk masyarakat setempat, mencapai desa dari akses transportasi terakhir memerlukan waktu sekitar 3 jam berjalan kaki dengan jalur yang terus menanjak. Sementara untuk para wisatawan, biasanya butuh waktu lebih lama, sekitar 5-7 jam tergantung ketahan fisik masing-masing.
Namun ditengah-tengah perjalanan yang cukup panjang tersebut, suasananya seakan begitu riang dan akrab. Warga setempat yang ikut membantu untuk mengangkut barang bawaan para wisatawan selalu berceloteh atau sesekali menceritakan cerita-cerita lucu kepada para wisatawan. Rupanya penduduk desa Wae Rebo ini memang terkenal dengan keramahtamahannya, selain itu mereka senang sekali bercerita atau mendengarkan cerita lucu. Disela-sela istirahat dalam perjalanan, salah satu dari penduduk setempat dan wisatawan berceloteh kisah lucu, dan kami semua yang mendengarkan pun tertawa terpingkal-pingkal.
Keakraban yang terjalin selama perjalanan membuat medan yang ditempuh seakan terlupa begitu saja. Tak terasa rombongan sudah sampai di kelokan terakhir menuju Desa Wae Rebo, dari kelokan ini kita bisa melihat betapa cantiknya Wae Rebo. Rumah-rumah Mbaru Niang yang bulat kerucut menjadi pemandangan yang unik nan cantik.


Mbaru Niang dan pembangunan rumah baru
Semakin mendekat menuju pusat desa, kita akan menyadari bahwa tempat ini benar-benar sebuah peninggalan berharga dari para leluhur di tanah Manggarai. Ada  4 Buah rumah adat bernama Mbaru Niang yang begitu menawan, dan  ada juga 3 buah rumah Mbaru Niang lagi yang sedang dibangun oleh warga desa.

Warga Wae Rebo memiliki rumah adat yang sangat unik, berbentuk kerucut, dan memiliki 5 lantai, namun hanya lantai satu yang digunakan untuk kegiatan sehari-hari seperti memasak, tidur, ataupun mengadakan pertemuan-pertemuan dan  upacara adat. Sesuai dengan adat yang berlaku disana, lantai kedua dan seterusnya hanya dipakai untuk menyimpan barang-barang kebutuhan rumah tangga.
Dan yang paling menarik,dari mulai kerangka sampai atap Mbaru Niang sama sekali tak menggunakan paku. Setiap kayu yang menjadi rangka ataupun penyangga rumah direkatkan menggunakan kayu rotan yang berfungsi sebagai tali pengikat.  Rotan menjadi bahan utama untuk merekatkan satu tiang ketiang lainnya. Warga Wae Rebo memang berusaha sebisa mungkin tidak mengubah bentuk, struktur, dan bahan-bahan bangunan yang digunakan untuk membangun Mbaru Niang.

Saat ini warga Wae Rebo sedang bergembira, 4 rumah Mbaru Niang yang tersisa dari jaman leluhur mereka akan ditemani oleh 3 rumah yang baru. Konon menurut para tetinggi Wae Rebo, Leluhur mereka mewarisi 7 buah rumah adat, namun karna perjalanan waktu dan penambahan usia bangunan, 3 buah rumah adat telah runtuh.  Namun kini dengan penuh suka cita, warga Wae Rebo kembali membangun 3 rumah adat Mbaru Niang, mereka mendapatkan sokongan dana untuk membangun rumah tersebut dari salah satu yayasan yang berada di Jakarta.

Hampir seluruh pria dewasa menjadi bagian dari proses pembangunan rumah baru, pekerjaannya pun dibagi kedalam beberapa bagian seperti pekerja untuk pengadaan bahan-bahan bangunan, pekerja pembentuk kerangka, dan pekerja pembuat atap dan pemasangannya. Tak ada sepeserpun upah yang diterima oleh para pekerja yang juga warga Wae Rebo sendiri, secara suka rela mereka ingin membangun kembali kisah 7 buah rumah Mbaru Niang yang diwariskan para leluhurnya.
Ternyata tak hanya kaum pria saja yang menjadi bagian dari pembangunan ini, kaum ibu pun sudah sibuk sejak pagi sekali untuk menyiapkan sarapan, makan siang, dan makan sore untuk semua pekerja.  Dapur dari rumah Niang yang paling besar menjadi wilayah kerja bagi para ibu, dan suasana kerja pun begitu ramai, kadang mereka memasak sambil bercerita, tertawa, menyanyi, dan mungkin juga bergosip.
Anak-anak dan remaja pun tak mau ketinggalan untuk ambil bagian, sebagian ada yang membantu kaum bapak bekerja berat, sebagian lagi ada yang membantu para ibu memasak, dan yang lain bertugas mencari beberapa bahan yang dibutuhkan seperti rotan atau memetik buah-buahan. Namun karna jiwa mereka yang memang masih muda, sebagian besar anak-anak ini bekerja sambil bermain dengan riang.
Pembangunan rumah Mbaru Niang yang baru telah berlangsung 4 bulan, saat ini pembangunannya sudah hampir 50 persen, kerangka setiap rumah sudah mulai terpasang, bahkan satu rumah sudah mulai memasuki tahap pemasangat atap. Pembangunan 3 rumah Mbaru Niang ini secara keseluruhan diperkirakan bisa selesai 3-4 bulan lagi. Mimpi warga Wae Rebo untuk melihat kemegahan tujuh buah rumah Mbaru Niang akan segera terwujud.

Tidak mudah menjadi warga Wae Rebo

Sebagian besar masyarakat Wae Rebo mencari nafkah dengan cara bercocok tanam, tanah sekitar Wae rebo yang subur menjadi berkah tersendiri untuk mereka. Namun, sepertinya adat dan budaya setempat sudah mengajarkan setiap warganya dengan baik, mereka bercocok tanam tanpa harus merusak banyak lahan hutan. Hanya sebagian kecil lahan yang mereka manfaatkan untuk perkebunan.
Letaknya yang tidak dapat diakses menggunakan kendaraan bermotor memang menjadi 2 sisi yang berbeda, disatu sisi itu menjadi kelebihan Wae Rebo, dengan sulitnya kendaraan menuju kesana, desa ini tak mudah terpengaruh oleh budaya-budaya asing yang bisa saja merusak kebudayaan setempat. Namun disisi lainnya, masyarakat setempat cukup kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Untuk kebutuhan pokok seperti beras misalnya, mereka harus mencarinya kedesa-desa tetangga yang letaknya sekitar 15 km. Belum lagi dengan mengangkutnya menuju desa, beban sekitar 5 kg untuk orang dewasa, dan 2-3 kg untuk anak-anak sudah pasti menjadi bawaan wajib masyarakat ketika keluar-masuk desa Wae Rebo.
Masalahnya tidak hanya sampai disitu, setiap minggu sebagian orang tua harus rela berpisah dengan anak-anaknya demi pendidikan. Biasanya pada minggu siang para orang tua ini sibuk menyiapkan kebutuhan anak-anak mereka selama satu minggu. Lalu anak-anak ini akan meninggalkan desa dan baru kembali lagi pada sabtu pagi.
Belum ada sekolah di Desa Wae Rebo, anak-anak harus mengejar cita-cita dengan menumpang sekolah di desa lain, mereka pun harus tinggal di sebuah asrama yang memang dikhususkan bagi penduduk Wae Rebo yang sedang mengenyam bangku pendidikan. Setiap anak, bahkan dari yang masih berusia 6 tahun, sudah dibiasakan hidup mandiri dan berpisah dari orang tuanya setiap minggunya.
Masih banyak kesulitan-kesulitan lain yang dihadapi warga Wae Rebo, sebut saja masalah kesehatan. Untuk mengikuti program imunisasi saja, setiap ibu yang mempunyai balita harus menggendong bayinya turun dan naik bukit, kadang pula mereka kecewa ketika sampai dilokasi, jadwal imunisasi sering kali tidak tetap sehingga mereka harus kembali lagi esok atau dua hari berikutnya.

Namun dari beberapa permasalahan tersebut, tidak menyurutkan niat luhur sebagian besar masyarakat Wae Rebo yang memilih untuk tetap tinggal didesa, dan melestarikan kebudayaan dari para leluhurnya. Pengorbanan warga Wae Rebo dari waktu kewaktu untuk terus mempertahankan tradisi semoga terbayar suatu hari nanti. Mungkin suatu hari nanti Wae Rebo akan menjadi sebuah peninggalan berharga bukan hanya bagi masyarakat setempat dan Indonesia, tapi juga bagi dunia.

NB : Tulisan ini saya buat tahun 2012 lalu, baru hari ini sempat saya publish di blog yang baru saya utak atik juga, maklum sok sibuk, hehe. Sekarang rumah-rumah Mbaru Niang sudah lengkap, ketujuh nya sudah berdiri dengan gagah.. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar