Nama tempat ini mungkin masih terdengar asing bagi
sebagian masyarakat Indonesia, jangankan masyarakat Indonesia, masyarakat yang
berada dalam satu wilayah pun terkadang masih menjawab tidak tahu ketika
ditanya tentang Wae Rebo. Wae Rebo merupakan sebuah desa terpencil yang berada
di wilayah Flores, Nusa tenggara Timur, tepatnya di kecamatan Satarmese Barat
Kabupaten Manggarai.
Wae rebo merupakan desa yang sangat unik, karena terletak
di antara pegunungan, dan berada diketinggian 1200 meter diatas permukaan laut.
Tak mengherankan jika beberapa warga asli Wae Rebo yang menjemput kami memakai pakaian tebal atau berselempang
sarung, karna wilayah tersebut terkenal dengan suhu yang cukup dingin.
Nama Wae rebo sebenarnya cukup kondang untuk para
wisatawan, namun yang membuat telinga kita miris, ternyata 80 persen wisatawan
yang datang mengunjungi Wae Rebo merupakan wisatawan asing. Para wisatawan
asing ini begitu semangat untuk menyaksikan keunikan apa saja yang ada disana, mulai dari rumah adat kuno, sampai peradaban
budaya asli Manggarai yang terus lestari hingga saat ini.
Kita membutuhkan tenaga ekstra untuk bisa mencapai Wae Rebo,
wajar saja karena memang letaknya yang jauh diatas gunung. Untuk masyarakat setempat, mencapai desa dari
akses transportasi terakhir memerlukan waktu sekitar 3 jam berjalan kaki dengan
jalur yang terus menanjak. Sementara untuk para wisatawan, biasanya butuh waktu
lebih lama, sekitar 5-7 jam tergantung ketahan fisik masing-masing.
Namun ditengah-tengah perjalanan yang cukup panjang
tersebut, suasananya seakan begitu riang dan akrab. Warga setempat yang ikut
membantu untuk mengangkut barang bawaan para wisatawan selalu berceloteh atau
sesekali menceritakan cerita-cerita lucu kepada para wisatawan. Rupanya
penduduk desa Wae Rebo ini memang terkenal dengan keramahtamahannya, selain itu
mereka senang sekali bercerita atau mendengarkan cerita lucu. Disela-sela
istirahat dalam perjalanan, salah satu dari penduduk setempat dan wisatawan
berceloteh kisah lucu, dan kami semua yang mendengarkan pun tertawa
terpingkal-pingkal.
Keakraban yang terjalin selama perjalanan membuat medan
yang ditempuh seakan terlupa begitu saja. Tak terasa rombongan sudah sampai di
kelokan terakhir menuju Desa Wae Rebo, dari kelokan ini kita bisa melihat
betapa cantiknya Wae Rebo. Rumah-rumah Mbaru Niang yang bulat kerucut menjadi
pemandangan yang unik nan cantik.
Mbaru Niang dan pembangunan
rumah baru
Semakin mendekat menuju pusat desa, kita akan menyadari
bahwa tempat ini benar-benar sebuah peninggalan berharga dari para leluhur di
tanah Manggarai. Ada 4 Buah rumah adat
bernama Mbaru Niang yang begitu menawan, dan ada juga 3 buah rumah Mbaru Niang lagi yang
sedang dibangun oleh warga desa.
Warga Wae Rebo memiliki rumah adat yang sangat unik,
berbentuk kerucut, dan memiliki 5 lantai, namun hanya lantai satu yang
digunakan untuk kegiatan sehari-hari seperti memasak, tidur, ataupun mengadakan
pertemuan-pertemuan dan upacara adat. Sesuai
dengan adat yang berlaku disana, lantai kedua dan seterusnya hanya dipakai
untuk menyimpan barang-barang kebutuhan rumah tangga.
Dan yang paling menarik,dari mulai kerangka sampai atap
Mbaru Niang sama sekali tak menggunakan paku. Setiap kayu yang menjadi rangka
ataupun penyangga rumah direkatkan menggunakan kayu rotan yang berfungsi
sebagai tali pengikat. Rotan menjadi
bahan utama untuk merekatkan satu tiang ketiang lainnya. Warga Wae Rebo memang berusaha
sebisa mungkin tidak mengubah bentuk, struktur, dan bahan-bahan bangunan yang
digunakan untuk membangun Mbaru Niang.
Saat ini warga Wae Rebo sedang bergembira, 4 rumah Mbaru
Niang yang tersisa dari jaman leluhur mereka akan ditemani oleh 3 rumah yang
baru. Konon menurut para tetinggi Wae Rebo, Leluhur mereka mewarisi 7 buah
rumah adat, namun karna perjalanan waktu dan penambahan usia bangunan, 3 buah
rumah adat telah runtuh. Namun kini
dengan penuh suka cita, warga Wae Rebo kembali membangun 3 rumah adat Mbaru
Niang, mereka mendapatkan sokongan dana untuk membangun rumah tersebut dari
salah satu yayasan yang berada di Jakarta.
Hampir seluruh pria dewasa menjadi bagian dari proses
pembangunan rumah baru, pekerjaannya pun dibagi kedalam beberapa bagian seperti
pekerja untuk pengadaan bahan-bahan bangunan, pekerja pembentuk kerangka, dan
pekerja pembuat atap dan pemasangannya. Tak ada sepeserpun upah yang diterima
oleh para pekerja yang juga warga Wae Rebo sendiri, secara suka rela mereka
ingin membangun kembali kisah 7 buah rumah Mbaru Niang yang diwariskan para
leluhurnya.
Ternyata tak hanya kaum pria saja yang menjadi bagian dari
pembangunan ini, kaum ibu pun sudah sibuk sejak pagi sekali untuk menyiapkan
sarapan, makan siang, dan makan sore untuk semua pekerja. Dapur dari rumah Niang yang paling besar
menjadi wilayah kerja bagi para ibu, dan suasana kerja pun begitu ramai, kadang
mereka memasak sambil bercerita, tertawa, menyanyi, dan mungkin juga bergosip.
Anak-anak dan remaja pun tak mau ketinggalan untuk ambil
bagian, sebagian ada yang membantu kaum bapak bekerja berat, sebagian lagi ada
yang membantu para ibu memasak, dan yang lain bertugas mencari beberapa bahan
yang dibutuhkan seperti rotan atau memetik buah-buahan. Namun karna jiwa mereka
yang memang masih muda, sebagian besar anak-anak ini bekerja sambil bermain
dengan riang.
Pembangunan rumah Mbaru Niang yang baru telah berlangsung 4
bulan, saat ini pembangunannya sudah hampir 50 persen, kerangka setiap rumah
sudah mulai terpasang, bahkan satu rumah sudah mulai memasuki tahap pemasangat
atap. Pembangunan 3 rumah Mbaru Niang ini secara keseluruhan diperkirakan bisa
selesai 3-4 bulan lagi. Mimpi warga Wae Rebo untuk melihat kemegahan tujuh buah
rumah Mbaru Niang akan segera terwujud.
Tidak
mudah menjadi warga Wae Rebo
Sebagian besar masyarakat Wae Rebo mencari nafkah dengan
cara bercocok tanam, tanah sekitar Wae rebo yang subur menjadi berkah
tersendiri untuk mereka. Namun, sepertinya adat dan budaya setempat sudah
mengajarkan setiap warganya dengan baik, mereka bercocok tanam tanpa harus
merusak banyak lahan hutan. Hanya sebagian kecil lahan yang mereka manfaatkan
untuk perkebunan.
Letaknya yang tidak dapat diakses menggunakan kendaraan
bermotor memang menjadi 2 sisi yang berbeda, disatu sisi itu menjadi kelebihan
Wae Rebo, dengan sulitnya kendaraan menuju kesana, desa ini tak mudah
terpengaruh oleh budaya-budaya asing yang bisa saja merusak kebudayaan
setempat. Namun disisi lainnya, masyarakat setempat cukup kesulitan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Untuk kebutuhan pokok seperti beras misalnya, mereka harus mencarinya
kedesa-desa tetangga yang letaknya sekitar 15 km. Belum lagi dengan
mengangkutnya menuju desa, beban sekitar 5 kg untuk orang dewasa, dan 2-3 kg
untuk anak-anak sudah pasti menjadi bawaan wajib masyarakat ketika keluar-masuk
desa Wae Rebo.
Masalahnya tidak hanya sampai disitu, setiap minggu
sebagian orang tua harus rela berpisah dengan anak-anaknya demi pendidikan. Biasanya
pada minggu siang para orang tua ini sibuk menyiapkan kebutuhan anak-anak
mereka selama satu minggu. Lalu anak-anak ini akan meninggalkan desa dan baru
kembali lagi pada sabtu pagi.
Belum ada sekolah di Desa Wae Rebo, anak-anak harus
mengejar cita-cita dengan menumpang sekolah di desa lain, mereka pun harus
tinggal di sebuah asrama yang memang dikhususkan bagi penduduk Wae Rebo yang
sedang mengenyam bangku pendidikan. Setiap anak, bahkan dari yang masih berusia
6 tahun, sudah dibiasakan hidup mandiri dan berpisah dari orang tuanya setiap
minggunya.
Masih banyak kesulitan-kesulitan lain yang dihadapi warga
Wae Rebo, sebut saja masalah kesehatan. Untuk mengikuti program imunisasi saja,
setiap ibu yang mempunyai balita harus menggendong bayinya turun dan naik
bukit, kadang pula mereka kecewa ketika sampai dilokasi, jadwal imunisasi
sering kali tidak tetap sehingga mereka harus kembali lagi esok atau dua hari
berikutnya.
Namun dari beberapa permasalahan tersebut, tidak
menyurutkan niat luhur sebagian besar masyarakat Wae Rebo yang memilih untuk
tetap tinggal didesa, dan melestarikan kebudayaan dari para leluhurnya. Pengorbanan
warga Wae Rebo dari waktu kewaktu untuk terus mempertahankan tradisi semoga
terbayar suatu hari nanti. Mungkin suatu hari nanti Wae Rebo akan menjadi
sebuah peninggalan berharga bukan hanya bagi masyarakat setempat dan Indonesia,
tapi juga bagi dunia.
NB : Tulisan ini saya buat tahun 2012 lalu, baru hari ini sempat saya publish di blog yang baru saya utak atik juga, maklum sok sibuk, hehe. Sekarang rumah-rumah Mbaru Niang sudah lengkap, ketujuh nya sudah berdiri dengan gagah..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar