Sebagai seorang muslim, memang ada beberapa hal yang harus saya perhatikan jika berkunjung ke daerah timur Indonesia, salah satunya soal makanan. Jika kita berkunjung ke daerah pedalaman, biasanya masyarakat setempat begitu ramah, dan langsung menawarkan kita untuk menyantap beberapa hidangan. Masalahnya adalah saya bukan pemakanan sapi kaki pendek, jadi saya harus pintar-pintar memilih atau menolak makanan yang mengandung unsur B.
Tapi banyak juga lho masyarakat yang menghormati kepercayaan saya untuk tidak makan sapi pendek, biasanya mereka tetap ingin menyuguhkan kita daging, salah satu caranya meminta kita untu memotong ayam. Seumur-umur saya belum pernah memotong ayam dengan tangan saya sendiri,
baru setelah traveling ke wilayah Sumba Barat saya melakukannya.
Sedang asik mengobrol sambil duduk santai bale-bale depan rumah khas Sumba,
tiba2 salah satu warga datang dan mengajak saya pergi ke halaman belakang
rumah, saya sama sekali tidak ada pikiran apa-apa saat itu, yang saya lakukan
hanya mengikuti perintah dan bergegas menuju halaman belakang rumah.
Betapa kagetnya saya ketika salah satu warga sudah memegang seekor ayam dan
warga yang lainnya memberikan saya sebilah pisau tajam, sesaat saya tidak bisa
berkata apa-apa, saya hanya spontan langsung menerima pisau yang disodorkan
kepada saya.
"Potong ayam mas, biar halal", ucap salah satu bapak saat itu.
Rupanya mereka sengaja meminta saya untuk memotong ayam karna tau saya
seorang muslim, masyarakt desa yang kebanyakan nasrani menghormati kepercayaan
saya yang harus mengkonsumsi makanan yang disembelih dengan orang dan cara
muslim. Wah saya jadi terharu karna masyarakat di desa yang jauh dari kata
modern ini begitu menghormati perbedaan kepercayaan, bolehlah sebagai orang
kota yang katanya hidup lebih maju kita mencontoh kearifan penduduk yang begitu
terjaga sampai sekarang.
Baiklah mari kita kembali lagi pada nasib si ayam
Karna belum pernah menyembelih ayam sebelumnya, saya sempat meminta pada
warga untuk tidak usah memotong ayam, biar saya makan sayur saja. Apa daya
mereka tetap memaksa dengan alasan ini biasa menyuguhi tamu terhormat, hoalah
tiba-tiba saya sedikit melayang karna disebut tamu terhormat. Perasaan bangga
sebagai tamu terhormat itu tiba-tiba lenyap saat saya menatap mata dari si ayam
mungil tak berdosa ini, ya tuhan sebenarnya saya tidak tega untuk untuk
menyembelih ayam yang sebenarnya imut-imut tersebut.
Cukup lama saya beradu pandang dengan si ayam ini, sebut saja dia si petok.
Setelah beradu pandang dan melamun yang untungnya bukan lamunan jorok, ternyata
saya juga sedang dipandangi oleh dua bapak-bapak yang sedari tadi menunggu saya
untuk.menjalankan eksekusi, tatapan mereka seperti tatapan tentara senior yang
memerintahkan juniornya untuk menembak mati musuh yang sudah tak bisa melawan
lagi seperti di film2 hollywood.
"Ayo mas lekas potong ayamnya" kata salah satu bapak.yang mungkin
sudah tidak sabar.
Akhirnya saya menyerah juga, dengan pisau yang sudah ditangan akhirnya
tangan saya melaju mendekati si petok. Oh ya pisau yang saya pegang itu kecil,
lebih kecil dari pisau ibu2 di dapur yang biasa dipakai untuk potong-potong
sayur. Saya sudah tidak mau lagi menatap mata si petik, karna itu bisa membawa
saya ke lamunan yang artinya bakal makin dipelototi lah oleh si bapak yang
sedari awal sudah standby memegangi si petik, kalau dilihat dari cara duduk dan
kakinya yang digerak-gerakkan terus sih, si bapak itu mungkin sudah mulai
kesemutan menunggu aksi dari saya, hehe.
Dan akhir penantian bapak pemegang ayam pun segera berakhir, tangan
berpisah saya sudah mulai mantap mendekat ke leher si ayam. Sekedar informasi,
saya kini hanya menatap lurus, tajam, dan penuh konsentrasi ke leher si petik,
karna memang saya tidak berani melihat matanya. Dengan membaca Basmallah tangan
saya mulai mengayun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar